11.09.2008
A. Hadits Pertama
Penjelasan
Al-Jauhari mengatakan bahwa lafaz al-Sakhath mengikuti wazan (pola kata) al-faras, sedangkan al-Sukhth mengikuti pola kata kerja qufila. Al-Rauh wa al-rahah, dua-duanya memiliki arti yang sama, yaitu ketenangan (al-istirahah) sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Jauhari. Dengan demikian hubungan al-rahah atas al-rahah merupakan athof (hubungan yang membentuk kata majemuk) yang bersifat interprestasi atau bisa pula dikatakan bahwa al-rauh mengandung arti ketentraman kalbu, sedangkan al-rahah mengandung arti jasmani, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Majilisi.
Al-Hamn wa al-huzn dua-duanya memiliki makna yang sama. Al-Majilisi mengatakan bahwa al-Hamn adalah kegelisahan jiwa ketika rezeki di dapat. Sedangkan al-huzn adalah keluh-kesah dan kesedihan ketika tidak memperoleh rezeki.
“Dan hendaknya dia tidak mencaci mereka atas apa yang tidak diberikan Allah kepadanya”.
Pertama, hendaknya dia tidak mencaci maki dan mengumpat mereka karena tidak memberinya harta atau sesuatu uang lain. Sebab orang yang memiliki keyakinan pasti tahu bahwa barang-barang itu bukanlah merupakan barang yang dianugrahkan Allah sebagai rezeki baginya, karena barang-barang tersebut tidak akan membawa kemaslahatan sama sekali baginya atau tidak maslahat karena ia melalui tangan orang lain.
Kedua, juga dikemukakan oleh Al-Kasyani, ialah hendaknya dia tidak mencela siapapun atas apa yang tidak diberikan oleh Allah kepada mereka. Sebab, Allah telah menjadikan bagi setiap orang yang merupakan haknya dan setiap orang dimudahkan untuk itu sehingga artinya sejalan dengan ucapan Imam.
Rezeki itu telah terbagi dan ditentukan, sebagaimana yang juga ditegaskan oleh Ayat-ayat Al-Qur’an. Hadits-hadits tersebut tidak bertentangan dengan riwayat-riwayat yang mendorong manusia, untuk mencari rezeki, bekerja dan berdagang, serta memandang buruk orang yang tidak bekerja, bahkan menggolongkan orang yang tidak mau bekerja dalam kelompok orang-orang yang tidak dikabulkan doanya, dan tidak dikirim rezeki oleh Allah.
Ketidakbertentangan hadits itu dengan hadits-hadits sebelumnya terdapat pada penegasannya bahwa mencari rezeki dan urusan-urusan lainyang berkaitan dengannya, maka semuanya itu berada di tangan Allah Yang Maha Tinggi, dan semata-mata usaha kita untuk mencari rezeki adalah kewajiban hamba.
Orang yang memiliki keyakinan yang benar, dan yang berjalan seiring dengan pergerakan berbagai urusan, wajib mencari rezeki pada setiap saat. Dia tidak akan menutup pintu pencarian rezeki, seraya tahu betul bahwa segala sesuatu berasal dari zat yang Maha Tinggi lagi Maha Suci.Pencari, mencari dan yang dicari, semuanya berasal dari Allah.
Dalam hadits mulia diatas, Imam Al-Shadiq a.s menyebutkan dua tanda bagi keyakinan yang benar : pertama, tidak mencari ridha manusia dengan memperoleh kebencian Allah, dan kedua tidak mencela orang lain atas apa yang tidak diberikan Allah kepadanya.
Di dunia ini manusia terbagi menjadi dua bagian kelompok pertama, adalah orang-orang yang dibimbing oleh keyakinan mereka untuk menyakini bahwa sarana-sarana lahiriyah dan pengaruh-pengaruh duniawi seluruhnya tunduk kepada kehendak Yang Azali dan Maha Sempurna.
Kelompok kedua adalah kelompok orang yang tidak mengetahui kebenaran sedikitpun. Kalaupun mereka menyakini sesuatu, maka keyakinan dan keimanan mereka lemah dan tidak sempurna.
Hendaknya diketahui bahwa Al-Mujalisi rahmatullah, ketika menguraikan hadits tersebut diatas, menulis bab khusus dalam kitabnya yang berjudul Mir’at Al-Uqul, yang menguraikan apakah rezeki itu telah terbagi-bagi (ditentukan) oleh Allah yang Maha Tinggi, mencakup yang halal dan haram, ataukah hanya rezeki yang halal saja? Mu’tazilah mengatakan bahwa ketentukan rezeki itu tidak mencakup yang haram, tetapi khusu yang halal saja.
Asy’ariah menegaskan bahwa rezeki yang haram dan halal itu sudah ditentukan pembagiannya (oleh Allah) berdasarkan pandangan mereka yang konsisten terhadap keterpaksaan manusia.
Berdasarkan bukti-bukti dan prinsip-prinsip yang kita miliki, kita mengimani bahwa rezeki yang halal dan yang haram itu telah di tentukan pembagian oleh Allah yang Maha Tinggi, sebagaimana dengan halnya dosa-dosa yang telah ditentukan oleh qadha dan qada Allah, tanpa terjebak pengakuan terhadap al-jabar.
Allah menempatkan ketenangan dan kesenangan pada keyakinan dan ridha dan menempatkan kegelisahan dan kesedihan pada keraguan dan kebencian berdasarkan prinsip keadilan.
Adapun penempatan kesenangan dan ketentraman pada keyakinan dan ridha, kesedihan dan kegelisahan pada keraguan dan kebencian, merupakan keputusan ilahi, dan itu merupakan suatu keadilan semuanya itu sejalan dengan efektif yang ditempuh oleh Allah Yang Maha Tinggi yang menentukan urutan-urutan dalam semua perwujudan tanpa mengharuskan adanya keterpaksaan (al-jabr) yang keliru dan mustahil.(Azr/)
Label: Artikel
0 komentar:
Posting Komentar